TEMPO.CO, San Diego – Meski dua obyek yang diduga sebagai puing pesawat Malaysia Airlines MH370 ditemukan di Samudra Hindia, ahli kelautan dari Scripps Institution of Oceanography di San Diego, Amerika Serikat, menyatakan penemuan pesawat tetap akan menjadi tugas yang menantang.
Kepada New York Times, Luca Centurioni menuturkan, dengan waktu hilang hampir dua minggu, tentu saja puing-puing tersebut sudah menyebar ke sejumlah lokasi. Keterlambatan penemuan puing ini membuat tim kesulitan mencari lokasi jatuhnya pesawat.
Tidak hanya itu, jumlah puing dan tingkat penyebarannya juga bergantung pada keadaan kecelakaan. »Sebuah pendaratan lembut di laut dengan arus ringan akan membuat puing lebih utuh. Namun, jika pendaratan dilakukan dengan kecepatan tinggi atau di lautan yang penuh badai, puing-puing akan lebih banyak," tutur David G. Gallo, direktur proyek khusus di Woods Hole Oceanographic Institution.
Sebagai contoh, kasus penerbangan Air France 447 pada tahun 2009. Michael J. Purcell, insinyur utama yang terlibat proyek pencarian pesawat ini, menuturkan bangkai pesawat ditemukan di lokasi yang jauh dari penemuan puing.
Saat itu, setelah lima hari pencarian, tim penyidik mendapat titik terang dengan ditemukannya sebuah puing. Mereka pun memperkirakan bangkai pesawat mungkin berada di radius 15 mil dari lokasi penemuan puing.
Namun nyatanya, pesawat ditemukan dalam jarak 30 mil jauhnya dan dengan arah yang berlawanan dari yang diperkirakan sebelumnya. Dengan begitu, bukan tak mungkin jika pesawat Malaysia Airlines yang sudah hampir dua minggu hilang itu terletak ribuan mil jauhnya dari lokasi keberadaan pesawat saat ini.
Posting Komentar